Sabtu, 30 Juli 2011

Konflik Agama di Zaman Modern

Oleh : Ahmad Sarkawi
Pendahuluan
Konflik merupakan fakta kehidupan, tak dapat dihindari dan kreatif. Konflik terjadi ketika orang mencapai tujuannya dengan pertarungan. Ketidaksepahaman dan konflik seringkali terpecahkan tanpa kekerasan dan sering mengakibatkan perubahan situasi bagi siapapun yang terlibat didalamnya. Demikianlah konflik bagian dari eksistensi kita. konflik berkembang dari ketidakseimbangan dalam hubungan, seperti ketidaksetaraan status sosial, ketidaksejahteraan, dan ketidaksetaraan akses terhadap sumber-sumber dan kekuasaan. Itu semua mengakibatkan munculnya berbagai problem seperti diskriminasi, pengangguran, kemiskinan, penindasan dan kriminalitas. Setiap level hubungan satu sama lain, secara potensial membentuk rangkaian kekuatan yang mendorong perubahan yang konstruktif ataupun kekerasan yang destruktif. 

Apabila jelas bahwa konflik bersama kita suka ataupun tidak suka, maka hanya satu tahap kita melihat bahwa kita nyata-nyata membutuhkan konflik. Diantaranya adalah bahwa konflik menjadikan orang sadar tentang masalah, konflik menawarkan perubahan yang mesti dilakukan, mengembangkan situasi, menumbuhkan moralitas, menunjukkan perkembangan induvidu, mengembangkan kesadaran diri juga menjadi kedewasaan psikologis. Mungkin saja banyak yag tidak setuju dengan beberapa pernyataan diatas. Pandangan mengenai dampak positif yang diperoleh dari konflik itu merefleksikan  adanya kontribusi positif yang diakibatkan oleh konflik tidak hanya level organisasi tetapi pada semua level. Kita dapat membayangkan tanpa konflik, induvidu menjadi kerdil karena kekurangan stimulasi, kelompok atau organisasi akan mengalami stagnasi dan mati. Tidak sedikit masyarakat yang juga tidak berkembang karena tidak mampu beradaptasi dengan perubahan situasi dan perubahan-perubahan relasi-relasi kekuatan baru.
Dari pendahuluan diatas sebagai titik awal penulis mengajak kita melihat konflik agama di zaman modern, apa kemungkinan penyebab dan bagaimana penanggulangan dan penyelesaiaannya ditengah konflik yang sering muncul dibelakangan ini. Dan penulis mengingatkan kita pada salah satu konflik agama di zaman modern salah satunya peristiwa WTC pada 11 September 2001.
Catatan Konflik Agama
Konflik agama didunia yang melibatkan kekerasan dan perang adalah sebagai berikut[1] :
No
Wilayah
Tahun
Konflik
1
Myanmar/ Burma
1948
Buddhist vs. Christians
2
Israel / Palestinian
1968
Jews vs. Arabs
3
Northern Ireland
1969
Catholic vs. Protestants
4
Philippines (Mindanao)
1970
Muslim vs. Christian (Catholic)
5
Bangladesh
1973
Buddhist vs. Christians
6
Lebanon
1975
Syria (Amal) vs. Iran (Hezbollah)
7
Ethiopia (Oromo)
1976
Muslims vs. Central Government
8
Egypt
1977
Muslims vs. Central Government (Muslims), Muslim vs. Coptic Christians
9
Tunesia
1978
Muslims vs. Central Government (Muslims)
10
India (Punjab)
1982
Sikhs vs. Central Government
11
Sudan
1983
Muslims vs. Native Religions
12
Sri Lanka
1983
Hindu vs. Muslims
13
Algeria
1988
Muslims vs. Central Government
14
Uzbekistan
1989
Sunnites Uzbeks vs. Shiite Meschetes
15
Mali-Tuareg Nomads
1990
Muslims vs. Central Government
16
Azerbejdan 
1990
Muslims vs. Christians Armenians
17
India (Kasjmir)
1990
Muslim vs. Central Government (Hindu)
18
Indonesia (Aceh)
1990
Muslim vs. Central Government (Muslim)
19
Iraq
1991
Sunnites vs. Shiites
20
Yugoslavia (Croatia)
1991
Serbian orthodox Christians vs. Roman Catholic Christians
21
Yugoslavia (Bosnia)
1991
Orthodox Christians vs. Catholics vs. Muslims
22
Afghanistan 
1992
Fundamentalist Muslims vs. Moderate Muslims
23
Tadzhikistan
1992
Muslims vs. Orthodox Christians
24
India (Uthar – Pradesh)
1992
Hindu vs. Muslims
25
Indonesia (Ambon)
1998
Present Muslims – Christian
26
Indonesia (Poso)
2000
Present Muslims – Christian
Konflik-konflik antar agama yang sudah terjadi selama ini disebabkan beberapa hal, diantaranya adalah[2] :
1.      Fundamentalisme agama cederung meningkat kemudian menimbulkan polarisasi masyarakat berdasarkan identitas agama, induvidu, kelompok dan masyarakat semakin sadar dan sensitive dengan nilai-nilai identitas agamanya, sehingga dalam interaksinya dengan orang dan kelompok lain selalu dibentuk oleh kesadaran dan sensitivitas identitas keagamaan tersebut. Fundamentalisme menciptakan eksklusivisme yang dibangun di atas dasar fondasi esensialisme sempit yang anti dialog, anti perubahan, dan anti negosiasi sehingga menciptakan pandangan buruk terhadap pihak luar yang mengancam. Kecuali adanya kampanye dalam berbagai bentuk dan cara mengenai pentingnya moderasi dalam beragama yang menonjolkan toleransi dan hubungan kemanusiaan yang inklusif, maka fundamentalisme agama akan terus berkembang dan menyebabkan ketegangan dan benih konflik
2.      Meningkatnya fundamentalisme dan radikalisme dibarengi oleh menguatnya keyakinan akan adanya  kebenaran dan interpretasi teks agama yang tunggal. Masyarakat agama yang feodal akan cenderung memfasilitasi terjadinya interaksi keagamaan yang dipenuhi oleh usaha untuk menyatukan interpretasi mengenai kehendak Allah yang dianggap sudah pasti dalam kitab sucinya. Meningkatnya fundamentalisme dan interpretasi tunggal, kemungkinan besar menuju bertambahnya sikap dan tindakan yang tak kenal negosiasi apalagi kompromi karena berkembangnya keyakinan akan adanya kebenaran absolut.
3.      Kekurangdewasaan menyebabkan mereka yang mengaku hamba-hamba Allah yang taat terperosok dalam sikap dan tindakan emosional. Sikap dan tindakan emosional ini mudah sekali menyulut ketegangan, perpecahan, dan konflik. Dalam masyarakat yang kurang bisa menjaga emosi secara dewasa, segala sesuatu yang bisa dianggap menghina kepercayaan atau iman seseorang, sekecil apapun, bisa mengakibatkan kekerasan dan distruksi dalam skala yang luar biasa besar. Dalam hal ini yang penting bukan hanya penekanan bagi para agamawan bahwa kekerasan aktif tanpa perlawanan dalam bentuk apapun dengan alasan apapun tidak dibenarkan, tetapi juga Negara harus menegakkan hukum tanpa pandang bulu, meskipun kekerasan itu dilakukan atas nama agama.
4.      Tidak adanya atau kurang berkembangnya wadah komunikasi antar agama, walaupun sebenarnya sudah ada beberapa Non Government Organization antar agama namun yang aktif berpartisipasi adalah mereka yang punya keyakinan akan pentingnya pluralisme. Mereka terdiri dari kelompok yang terdidik yang sudah setuju dari awal akan pentingnya kerukunan antar umat beragama/ dan bukan sebagian besar pengikutnya adalah pemimpin agama atau kelompoknya. Bahkan ada ketidakjujuran dari beberapa pemimpina agama atau kelompok yang turut dialog antar agama, yaitu beberapa dari mereka yang begitu getol mengumandangkan pluralisme dan toleransi dalam forum dialog, tetapi tidak mengkampanyekan hal yang sama dalam kelompok agamanya sendiri.
5.      Berkurangnya public sphere, sejalan dengan semakin menigkatnya fundamentalisme dan berkembangnya  modernisasi, maka banyak sekali pembangunan atau pendirian tempat ataupun organisasi bercirikan agama tertentu yang mengambil ruang lingkup interaksi umum. Bukan hanya sekolah atau rumah sakit tetapi juga bank dan taksi; organisasi yang berkembang pesat sekarang ini adalah organisasi keagamaan. Dengan demikian ruang publik yang boleh diikuti oleh semua orang tanpa pandang bulu semakin berkurang, yang mengakibatkan kurangnya interaksi plural. Keadaan seperti ini tidak hanya menimbulkan ketidaktahuan mengenai kelompok lain, melainkan juga menimbulkan kecurigaan karena ketidaktahuan satu kelompok dengan lainnya. Kecurigaan mudah berubah menjadi kebencian dan ketegangan yang mudah menyulut konflik.
6.      Adanya kehausan akan kekuasaan. Kelompok agama dan pemimpin agama ternyata memang sangat senang kekuasaan termasuk kekuasaan politis. Kita sudah sering mendengar bahwa kekuasaan politis yang dimiliki siapapun, termasuk agamawan, cenderung korup. Paling tidak mereka selalu ingin menang dan lebih unggul dari yang lain dengan cara-cara yang tidak agamis. Peperangan politis membawa agama sudah sering kita ketahui dan sering membawa konflik; dan kalau politik itu membawa bendera agama, maka konflik politik dan konflik agama bercampur dan saling mempengaruhi.
7.      Tidak adanya pemisahan antara agama dan Negara. Bila hukum dan kebijaksanaan Negara banyak dipengaruhi agama dan perpolitikan dengan agama, akan cenderung sectarian, lebih-lebih apabila salah satu agama menjadi dominan. Dalam situasi seperti ini sengaja maupun tidak agama lain pasti akan dikalahkan, karena setiap agama disadari maupun tidak merupakan organisasi yang bersaing satu sama lain. Campur tangan agama dalam urusan Negara, apalagi Negara majemuk seharusnya dibatasi.
8.      Tidak adanya kebebasan beragama. Sebuah NGO di Canada membuat motto kebebasan beragama sebagai berikut: “without oppression, believe, worship and witness (or practice freedom from belief, worship and witness), as you wish; change your beliefs or religion; associate with others to express your beliefs[3] Kebebasan beragama adalah satu hak asasi manusia yang penting dimana setiap orang bebas memeluk atau tidak memeluk agama, tidak mengalami pemaksaan beragama tertentu, bebas beribadah, memberi kesaksian, bahkan berpindah agama. Kalau masyarakat sudah menerima kebebasan seperti ini dan mengerti hak-hak orang lain, konflik antar agama pasti dapat dikurangi.
9.      Kekerasan dan penghakiman atas agama serta kurangnya penegakkan hukum. Beberapa kelompok agama melakukan penghakiman berdasarkan keyakinan dan sering tidak berdasarkan hukum. Ada juga kelompok  agama yang menghakimi kelompok lain berdasarkan keyakinan kelompok tersebut bersalah dan harus dihukum.
10.  Kurangnya penegakkan hukum atau pembentukan hukum yang cenderung sectarian. Dalam Negara hukum yang melakukan tindakan kekerasan atas keyakinan atau agama oleh rakyat biasa tidak bisa dibenarkan harus dihukum. Pembuatan undang-undang juga harus menekankan kepentingan semua rakyat yang pluralis. Pembiaran tindakan kekerasan berdasarkan keyakinan keagamaan dan pembuatan undang-undang yang sectarian pasti akan menimbulkan ketegangan selain ketidakadilan itu sendiri.
11.  Kemiskinan dan ketidakadilan ekonomi dan sosial yang bukan hanya menjadikan kelompok agama tertentu merasa terpinggirkan, tetapi juga dalam mencari pemecahannya sering kelompok agama mencari victim dan musuh yang menyebabkan kemiskinan itu. Pencarian musuh penyebab ketidakadilan ekonomi ini bukan hanya ditujukan pada kebijakan pemerintah, melainkan diarahkan pada saingan kelompok agama lain yang dianggap atau yang kelihatannya tidak mengalami ketidakadilan ekonomi. Bisa juga ketidakadilan ekonomi ini ditimpakan pada suatu Negara dengan system yang sangat berbeda dengan yang dikehendaki agamanya. Negara yang kemudian dimusuhi ini sering dikaitkan dengan agamanya dan agama ini kemudian dijadikan musuhnya.
12.  Pemimpin dan masyarakat agama cenderung menekankan pentingnya fiqh daripada akhlak. Sehingga pengajaran agama dan praktik kehidupan beragama bukan hanya cenderung vertical dan kuran horizontal, tetapi juga tidak sensitive dan kurang aktif mengatasi masalah mendasar dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam kecenderungan seperti ini masyarakat agamawi cenderung memikirkan pengalaman ritual keagamaan termasuk bagaimana bisa masuk surga dan bukan bagaiman secara tulus dan ikhlas menciptakan kedamaian, pengorbanan yang penuh kasih dan menyejahterakan kehidupan seluruh umat manusia dan bukan dirinya sendiri maupun kelompoknya sendiri.
WTC 11 September 2001
Serangan terhadao World Trade Centre (WTC) New York dan markas Pentagon, Washington DC, pada 11 September 2001 yang mengorbankan ribuan orang dan menghancurkan kedua gedung symbol kedigjayaan ekonomi, militerm dan politik Amerika Serikat mengandung sebuah dimensi penting. Dimensi ini sering luput dari berbagai ketegangan dan kontroversi yang terjadi di seputar tragedi Amerika tersebut dan kejadian-kejadian berikutnya.
Pada tahap ini, nuansa keagamaan mulai membayangi konflik dan ketegangan global. Wacana dan praksis politik keagamaan hanya semakin menguat ketika informasi instan menyebar, bahwa Presiden Bush akan menggunakan kode sandi operasi “Crusade” (Perang Salib). Ini tidak bisa lain, mengingatkan kaum Muslimin dan Kristen tentang Perang Salib yang berlangsung cukup lama di antara kedua komunitas keagamaan ini Eropa dan Timur Tengah pada abad pertengahan. Menyadari nuansa keagamaan yang melekat dalam istilah itu menjadi “Operation on Infinite Justice”. Nama inipun memunculkan keberatan kalangan muslim, karena “keadilan tanpa batas” hanyalah milik Tuhan.
Publik dunia melalui tayangan 24 jam tidak hanya disuguhi vivid live description pesawat-pesawat yang menghantam “twin tower” New York, tetapi juga respon yang nyaris instan pula ddari para petinggi Amerika Serikat, Khususnya Presiden George W. Bush. Penyebutan sejumlah nama-nama berbau Timur Tengah dan Muslim sebagai orang-orang yang yang dicurigai melakukan serangan kamikaze tersebut, yang diikuti dengan penyebutan nama Usamah bin Ladin sebagai mastermind di balik semua itu tanpa bukti yang jelas dan kuat, segeralah menimbulkan reaksi instan di kalangan masyarakat muslim di berbagai penjuru dunia.
Pada pihak lain, respon yang berbau keagamaan juga segera muncul dari kalangan muslim. Dan ini terlihat dari penggunaan doktrin dan kerangkan jihad. Meski jihad jelas mengandung makna yang sangat luas, mulai dari setiap usaha baik yang diniatkan sebagai ibadah sampai kepada melawan hawa nafsu dalam diri sendiri. Namun dalam konteks konfrontasi yang tengah berlangsung, maka istilah jihad hampir sepenuhnya diidentikkan publik Muslim dan non-Muslim umunya sebagai perang.
Gejala penting itu adalah terjadinay peningkatan politics of identity and representation dikalangan hampir seluruh masyarakat dunia. Disadari atau tidak, kemunculan wacana tentang Crusade dan jihad, sekali lagi, merupakan bentuk-bentuk terjelas dari politik indentitas dan representasi yang masih kuat bertahan di antara kedua belah pihak diatas. Hasil peningkatan politik identitas dan representasi, seperti bisa diprediksi, hanya memberikan momentum kepada gerakan-gerakan sosial-politik kegamaan yang akhirnya dapat memunculkan kekerasan tanpa ujung.
Penutup
Mengingat biaya kemanusiaan dan peradaban yang akan dimunculkannya, sepatutnya ekspresi politik identitas yang bernuansa keagamaan dihindari. Di sini, tanggung jawab terbesar terletak pada pemimpin baik di lingkungan pemerintahan maupun masyarakat luas untuk secara bijak menghindari sedapat mungkin kemunculan politik identitas dan representasi semacam itu. Jika tidak, maka kemanusiaan dan peradaban harus membayar biaya yang sangat mahal.

Daftar pustaka
Jamil, Mukhsin..dkk. Mengelola Konflik Membangun Damai: Teori, Strategi dan Implementasi Resolusi Konflik. Semarang: WMC IAIN Walisongo. 2007
Mushadi HAM..dkk. Mediasi dan Resolusi Konflik di Indonesia: dari konflik agama hingga mediasi peradilan. Semarang: WMC IAIN Walisongo. 2007
Azra, Azyumardi. Konflik Baru Antar Peradaban: Globalisasi, Radikalisme dan Pluralitas. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2002
Wijayatsih Hendri, Gunawan Adi Prabowo, Purwaningtyas Rimukti…..(ed). Memahami Kebenaran Yang Lain Sebagai Upaya Pembaharuan Hidup Bersama. Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen, UKDW, Mission 21, 2010




[1] Peter Suwarno, Konflik Antar  Agama: Kemungkinan Penyebab, Penanggulangan dan Penyelesaiannya. Dalam  Mushadi HAM..(ed). Mediasi dan Resolusi Konflik di Indonesia: dari konflik agama hingga mediasi peradilan, 2007 WMC IAIN Walisongo ; Semarang. Halaman 26 - 27
[2] Ibid, hal 21 - 25
[3] Ontario Consultant on Religious Tolerance yang berbasis di Canada menyebutkan definsi kebebasan beragama ini dalam websitenya di http://www.religioustolenrance.org

Tidak ada komentar:

Posting Komentar