Sabtu, 30 Juli 2011

Konflik Internal Muhammadiyah Studi kasus “Fatwa Haram Rokok”


0leh  : Ahmad Sarkawi
Pendahuluan
Dalam usianya satu abad, Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah bidang sosial , sudah melakukan-dan hampir memiliki segalanya. Lembaga pendidikan, kesehatan, penyantunan orang-orang lanjut usia dan miskin, pemeliharaan anak-anak yatim, bahkan yang baru lahirpun Muhammadiyah menyediakan panti-bila orang tuanya (karena sesuatu hal) tak mampu memelihara sang bayi. Di samping itu, Muhammadiyah juga memasuki bidang-bidang yang sejatinya berada diluar “pakem gerakan-gerakan dakwah”, seperti ekonomi dan politik.[1]

Muhammadiyah adalah salah satu organisasi modern terbesar di Indonesia. Sejak berdirinya 18 November 1912 di Kauman Yogyakarta dikenal sebagai pelopor pembaharuan pemikiran Islam khususnya di Indonesia, baik bersifat puriffikatif (pemurnian di bidang akidah-ibadah) maupun rasinalistik (bidang muammallah-duniawiyah). Kontribusi Muhammadiyah yang paling mendasar pada hakikatnya terletak pada sikap kritis terhadap status quo pemikiran keislaman saat kelahirannya. Di samping itu, keunikan corak pembaharuan yang dibawa Muhammadiyah dibanding dengan gerakan pembaharuan Islam lainnya, baik di tingkat nasional maupun internasional adalah pada sisi amaliahnya.[2]
Dalam perkembangannya Muhammadiyah menjelang Muktamar Ke-46, Majelis Tarjih mengeluarkan Fatwa No. 6/SM/MTT/III/2010 tentang Haram Rokok. Keluarnya fatwa ini menjadi polemik dan konflik di dalam persyarikatan Muhammadiyah baik di kalangan elite Muhammadiyah maupun pada tingkat akar rumput warga Muhammadiyah. Maka paper sederhana ini akan berbagi informasi kepada kita semua bagaimana konflik internal Muhammadiyah yang bermula dari Fatwa No. 6/SM/MTT/III/2010.
Apa yang mendasari Fatwa No. 6/SM/MTT/III/2010.
Karena semakin banyak dan kompleksnya tugas yang harus diemban oleh Majelis Tarjih, maka Pimpinan Pusat Muhammadiyah pada tahun 1971 menetapkan tugas utama Lajnah Tarjih. Lajnah Tarjih tidak hanya melakukan Tarjih diantara pendapat yang ada, tetapi juga mengeluarkan fatwa keagamaan. Seiring perkembangannya Majelis ini tidak hanya terbatas menangani permasalahan Khilafiyah saja, tetapi juga membahas persoalan-persoalan baru yang tidak dapat ditemukan pembahasan sebelumnya. Artinya sekalipun menggunakan nama tarjih, akan tetapi tugas majelis ini tidak semata-mata melakukan klarifikasi terhadap persoalan yang diperdebatkan, tetapi juga merambah pada rumusan terhadap persoalan kontemporer yang telah di temukan ketentuan hukumnya.[3]
Tugas pokok Majelis Tarjih Muhammadiyah pasal 2 yaitu:[4]
1.      Menyelidiki dan memahami ilmu agama islam untuk memperoleh kemurniannya.
2.      Menyusun tuntunan aqidah, akhlaq, ibadah, dan mu’amalah duniawiyah
3.      Memberi fatwa dan nasehat, baik atas permintaan maupun tarjih sendiri memandang perlu.
4.      Menyalurkan perbedaan pendapat dalam bidang keagamaan kea rah yang lebih maslahat.
5.      Meningkatkan kualitas para ulama
6.      Hal-hal lain dalam keagamaan yang diserahkan oleh pimpinan persyarikatan.

Selain tugas dan wewenang secara structural Majelis Tarjih, ada landasan mengapa Fatwa haram rokok ini di keluarkan, ada tiga alasan sebagai berikut :[5]
1.      Menggunakan pertimbangan dasar dalam Alquran dan Hadis (hukum Islam) serta pertimbangan sebab-akibat. secara ringkas merokok terbukti sebagai upaya menyakiti dan membahayakan diri sendiri secara perlahan.
2.      Merokok juga menimbulkan mudarat untuk orang lain serta termasuk tindak pemborosan yang mubazir.
3.      Surat An-Nisa ayat 29[6], Surat Al-Baqarah ayat 195[7]
Dampak Fatwa No. 6/SM/MTT/III/2010.
Dampak dari fatwa rokok haram secara internal Muhammadiyah, terjadi konflik baik dikelas elit maupun kelas akar rumput, sebagaimana yang diungkapkan Amin Rais Mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah “Allah dalam Alquran memerintahkan agar umat Islam jangan sampai menghalalkan yang haram serta mengharamkan yang halal. Dalam pandangan Alquran, kata dia, tidak ada ayat yang melarang orang merokok. "Ini hanya analisa manfaat dan mudarat oleh beberapa ulama, karena keyakinannya merokok itu mungkin membawa penyakit, sehingga mengharamkan rokok,"[8]
Sementara ketua Pengurus Pimpinan Daerah Muhammadiyah Temanggung Asyari Muhadi sadar “masalah tembakau adalah masalah rumit. Sebab di satu sisi tembakau adalah mata pencarian utama, namun di sisi lain, pihaknya tetap harus tunduk dan mengikuti fatwa yang dikeluarkan oleh PP Muhammadiyah”[9].
Dari dua pernyataan diatas, ini menandakan bahwa ada penolakan, ada ketidak setujuan akan fatwa tersebut dan ini mengakibat konflik walaupun tidak sampai pada konflik destruktif, tetapi ini akan memicu perpecahan dikalangan masyarakat akar rumput karena bersentuhan dengan mata pencaharian petani tembakau yang juga notabenenya adalah warga Muhammadiyah.
Konflik kepentinganpun terjadi menjelang muktamar, mengapa fatwa ini di keluarkan menjelang Muktamar. Dan ada asumsi bahwa fatwa ini karena Muhammadiyah mendapat Donor 3,6 Miliar oleh Bloomberg Initiative (Gerakan Sosial Anti Rokok Walikota New York Michael R. Bloomberg) untuk membuat fatwa sebagaimana disinyalirkan oleh salah satu media Online[10]. Semakin menguatnya asumsi ada kepentingan dalam fatwa tersebut senada dengan ungkapannya Sudibyo Markus Ketua Majelis Kesehatan dan Kesejahteraan Masyarakat “menurut saya, pasti ada kepentingan tertentu. Bagi Muhammadiyah, tidak ada masalah kerjasama dengan berbagai sumber dari luar negeri. Yang penting bantuan-bantuan itu bermanfaat untuk umat, tidak mengikat, netral dan tidak ada kepentingan politik” dan fatwa itu dikeluarkan juga untuk persiapan menggelar Muktamar Muhammadiyah ke 46 yang direncanakan sebagai muktamar tanpa asap rokok dan tanpa sponsor rokok.[11]
Analisis Resolusi Konflik
Membutuhkan paradigma baru dalam membuat sebuah fatwa, paradigma yang berangkat dari kondisi sosial masyarakat Indonesia, dasar fatwa itu sesuai dengan realitas tidak berangkat dari idealitas semata. Dalam merespon konflik sosial tidaklah cukup dengan kajian sosial saja atau kajian keagamaan saja namun butuh paradigma baru serta menggeserkan paradigma kita untuk menyelesaikan konflik sosial di negeri ini.
Maka dengan itu studi agama dan resolusi konflik penting untuk memahami prinsip-prinsip dasar berikut ini : Hadarah al-nash, (penyangga budaya teks-Bayani), memang tidak lagi bisa berdiri sendiri, terlepas sama sekali dari hadarah al-ilm (teknik, komunikasi) dan juga tidak bisa terlepas dari hadarah al-falsafah (etik) dan begitu sebaliknya. Hadarah al-ilm (budaya ilmu), yaitu ilmu-ilmu empiris yang menghasilkan sains dan teknologi, akan tidak punya karakter, yang berpihak pada kehidupan manusia dan lingkungan hidup, jika tidak di pandu oleh Hadarah al-falsafah (budaya etik-emansipatoris) yang kokoh.
Sementara itu, Hadarah al-nash (budaya agama yang semata-mata mengacu pada teks) dalam kombinasinya dengan hadarah al-ilm (sain dan teknologi), tanpa mengenal humanities kontemporer sedikitpun juga berbahaya, karena jika tidak hati-hati akan mudah terbawa arus kea rah gerakan radi-calism-fundamentalism?[12] Untuk itu, diperlukan hadarah al-falsafah (etik yang bersifat transformatif-liberatif). Begitu juga, hadarah al-falsafah (budaya filsafat) akan terasa kering, jika tidak terkait dengan isu-isu keagamaan yang termuat dalam budaya teks dan lebih-lebih jika lebih menjauh dari problem-problem yang ditimbulkan dan dihadapi oleh hadarah al-ilm (budaya ilmu-ilmu empiris-teknis).[13]
Maka dengan itu jika paradigma baru ini menjadi paradigma di dalam Majelis Tarjih ketika menetapkan suatu fatwa, besar kemungkinan terjadinya konflik akan kecil. Konflik lebih akan bersifat konflik yang fungsional yaitu konflik yang menghasilkan perubahan atau consensus baru yang bermuara pada perbaikan.[14]
Penutup
Kecenderungan “ideologisasi” tarjih di dalam perkembangan Muhammadiyah dikemudian hari tampak perlu dikritisi dan di evaluasi. Tidak cukup bukti untuk menyatakan bahwa pembaharuan Kyai Dahlan lebih berfokus pada hukum syariah yang kemudian bisa dijadikan dasar bagi konsentrasi Muhammadiyah terhadap tarjih sebagai lembaga fatwa syariah. Kyai Dahlan justru menyebut syariah sebagai bentuk (luar) dari ruh (kesadaran) keagamaan sehingga berbagai kritik kerasnya terhadap praktik keagamaan pada masanya lebih tampak sebagai pembangkitan kesadaran kritis dalam pemahaman dan pengamalan ajaran Islam. Dari penyadaran kritis itulah kemudian muncul banyak model gerakan sosial, pers dan kepustakaan. Kyai Dahlan sering menyebutkan akal suci dalam memahami maksud Al-qur’an dan pentingnya sikap kritis dan terbuka dalam mencermati pandangan orang lain bagi pemahaman Al-qur’an itu, termasuk pemeluk Kristen. Dalam kesempatan serupa Kyai Dahlan menyatakan bahwa kemampuan akal suci itu perlu ditumbuhkan melalui pendidikan filsafat.[15]
Dalam penutup ini menjadi penting untuk Majelis tarjih Pimpinan Pusat Muhammadiyah untuk merefleksi dan mengevaluasi, sehingga gerakan dan langkah yang diambil tidak menimbulkan konflik yang merugikan atau berdampak kisruh di tengah masyarakat baik pada kalangan elite Muhammadiyah maupun di kelas akar rumput.





[1] Abd. Rohim Ghazali, “Muhammadiyah Jelang Satu Abad” dalam Jurnal Pemikiran Agama dan Peradaban “Proposal Pembaruan Muhammadiyah Jelang Satu Abad”. Volume 4, Nomor 1, Juni 2005; Jakarta. PSAP Muhammadiyah. Hal : 5
[2] Ahmad Farhan, “Metode Ijtihad Majelis Tarjih Muhammadiyah (Sebuah Analisis Deskriptif)” dalam Syaifullah..(ed), “Refleksi Satu Abad Muhammadiyah”. PWM B-Press; Bengkulu. 2010. Hal : 137
[3] Untuk melihat lanjut pembahasan dalam Majelis Tarjih tentang masalah kontemporer, lihat PP Muhammadiyah dalam Himpunan Keputusan Tarjih Muhammadiyah. Perubahan secara signifikan terjadi pada awal 1960-an ketika Muktamar yang diadakan di Pekajangan-Pekalongan memasukan persoalan mengenai perburuhan, pembatasan kelahiran dan juga hak milik meskipun tidak sampai kepada keputusan hukum.
[4] Kaidah ini diperkuat oleh Keputusan Muktamar ke 40 di Surabaya tanggal 24-30 Juni pada bab 6 hal 20 yaitu: 1) meningkatkan usaha penelitian ilmu-ilmu agama untuk landasan hukum dan dorongan bagi kemaslahatan dan kemajuan masyarakat. 2). Meningkatkan penelitian tentang hukum islam untuk pemurnian pemahaman syariat dan kemajuan hidup beragama dan mengaktifkan jalannya pendidikan ulama dengan mendirikan  perguruan-perguruan dan kursus-kursus. 3). Memperbanyak dan meningkatkan mutu ulama. 4). Meningkatkan terselenggaranya forum pembahasan tentang masalah-masalah agama dan hukum islam pada khususnya. 5). Agar diterbitkannya kitab fiqh islam berdasarkan keputusan tarjih. Lihat Ensiklopedia Muhammadiyah, hal. 382.
[5] Yunahar Ilyas, dalam Konfrensi Perss Fatwa haram Rokok di Menteng Raya 62, Jakarta tanggal 9 Maret 2010.
[6] Al-Qur’an, “wahai orang-orang yang beriman! Janganlah harta sesamamu dengan jalan yang bathil (tidak benar), kecuali dalam perdagangan yang berlaku atas dasar suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu mebunuh dirimu, sungguh Allah maha penyayang kepada kamu” . Bandung: Syamil Cipta Media. Hal. 83
[7] Al-Qur’an, “dan infakkanlah (hartamu) dijalan Allah, dan janganlah kamu jatuhkan (diri sendiri) kedalam kebinasaan dengan tangan sendiri, dan berbuat baiklah. Sungguh Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik”. Bandung; Syamil Cipta Media. Hal. 30
[8] Zumrotul Muslimin, 13/03/2010, 16:21. http://berita.liputan6.com/read/267668/Amien.Terkejut.Adanya.Fatwa.Haram.Merokok
[9] Ibid, 11/03/2010, 17:32. http://berita.liputan6.com/daerah/201003/267423/petani_tembakau_resahkan_fatwa_haram_merokok

[10] Baca. Laporan Wahyu sabda Kuncahyo, 14/03/2010 , 14:11 http://www.rakyatmerdeka.co.id/news/2010/03/14/89613/FATWA-ROKOK-HARAM-Muhammadiyah-Bantah-Bantuan-dari-Bloomberg-Initiative-untuk-Bikin-Fatwa
[11] Ibid
[12] Untuk menjawab sebagian pertanyaan tersebut, IAIN menyelenggarakan Seminar dan Lokakarya dalam Seminar  Nasional dalam rangka mensyukuri kelahiran IAIN ke 51, yang diselenggarakan pada 18 – 19 September 2002. Proceeding seminar tersebut kemudian diterbitkan SUKA Press dengan judul Menyatukan ilmu-ilmu Agama dan Umum: Upaya  mempertemukan epistemologi Islam dan Umum, Jarot Wahyudi dkk..(ed), Yogykarta, juni 2003
[13] Amin Abdullah, Desain Pengembangan akademik IAIN menuju UIN: dari pendekatan dikotomis-atomistik ke integrative-interkonektif. Dalam Islamic Studies dalam paradigma integrasi interkoneksi sebuah antotologi, 2010 Suka Press: Yogyakarta. Hal 36
[14] Loekman sutrisno, “Konflik Sosial Studi Kasus Indonesia”, 2003, Tajidu Press: Yogyakarta. Hal. 16-17
[15] Munir Mulkhan. “Pembaharuan Muhammadiyah dalam Ilmu dan Gerakan Sosial” dalam Maryadi….(ed). Muhammadiyah dalam kritik. 2001, Muhammadiyah University Press UMS : Surakarta. Hal. 90-91

Tidak ada komentar:

Posting Komentar